Sunday, December 21, 2014

Black Coffee (Cerpen)

Sumber foto : Link


            Kopi hitam, kau tau? Betapa aku menyukai kopi hitam? Biar aku ceritakan!
Sudah setahun aku selalu datang untuk duduk disini dan aku selalu memesan kopi hitam. Ya, kopi hitam. Aneh, mungkin memang terdengar aneh apabila ada seorang wanita yang menyukai kopi hitam. Entah aku harus memulai dari mana tentang semua ini. Yang jelas ini mengenai rasa. Rasa manis yang seketika berubah menjadi pahit.
***


Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Kita adalah bahagia. Aku mencintaimu, dan begitu pula kamu, harapku. Telah banyak yang kita lalui. Kita adalah satu, selalu bersama. Aku menyukai suatu tempat yang selalu kita datangi bersama, tak terhitung sudah berapa banyak waktu yang kita lalui disana. Tempat itu adalah sebuah cafe di atas puncak. Sangat indah, disana kami bisa menikmati senja, mentari yang terbenam dengan lembut di iringi dengan warna jingga. Usai senja kami dapat melihat susunan lampu kota yang katamu penuh makna dan jauh lebih indah di banding dengan bintang di angkasa. Aku selalu memesan coklat hangat, karena bagiku, hidupku ini begitu hangat dan sangat manis bersamamu. Sedangkan kamu, selalu memesan cappuccino panas, katamu bersamaku itu nagih, seperti cafein pada kopi, manis seperti kopi cappuccino, indah, seperti lukisan yang terdapat pada atap kopi cappuccino, dan panas seperti katamu: perlahan menikmati kisah ini hingga akhir tanpa menyisakan ampas, berakhir bersama.

Hingga pada akhirnya di suatu malam yang dingin aku menunggumu, aku menunggu disini, di kursi ini seperti biasanya kita duduk. Hingga malam mulai larut, hembusan angin seperti mengusirku pergi. Sementara hujan semakin deras, petir dan guntur semakin menggelegar. Kamu tau kan sayang? Aku takut petir, aku sangat membenci hujan, dan aku mulai membencimu yang tak kunjung datang menemuiku. Telah ku coba untuk menghubungimu ratusan kali, namun tak ada satupun kabar yang aku dapatkan. Ahh aku sangat muak, ingin rasanya aku mendatangi rumahmu dan mengadu kepada ibumu tentang perlakuanmu malam itu. Aku segera pergi dari tempat itu, aku tak perduli lagi dengan hujan yang mulai membasahi tubuhku, aku tak perduli dengan suara petir dan cahaya guntur yang seperti mencoba mengurungkan niatku. Aku sudah tak peduli dengan apapun, yang aku pedulikan saat ini adalah amarahku, egoku ini mulai merasuki seluruh jiwaku. Aku marah karena baru kali ini kamu mengingkari janji.

Aku tiba di depan rumahmu. Seluruh pakaianku basah, aku menggigil. Perlahan kakiku mulai terhenti saat pandanganku yang samar akibat hujan itu mulai menemukan fokusnya. Sesak jantungku, nafasku seakan terenggut, hatiku remuk seketika. Aku melihat fotomu yang terlingkarkan oleh karangan bunga. Tubuhku lemas, aku seakan tak mampu menopang berat badanku sendiri. Hingga akhirnya aku terjatuh di tengah hujan.
***

Sejak saat itu, aku masih merasakan kehadiranmu, aku masih mencintaimu, merindukanmu, dan menunggumu. Sayang, apakah kau tau? Aku sudah tidak menyukai coklat lagi, hidupku tidak seperti dulu, tidak sehangat dan semanis itu tanpamu. Terakhir aku meminumnya adalah sehari setelah kepergianmu, dan aku tak menemukan rasa apapun pada coklat itu, hambar. Kemudian aku mencoba minuman lain. Yaitu, kopi hitam. Aku menemukan rasa itu, rasa yang aku rasakan sekarang, pahit, kelam, dan berampas menyisakan luka.


###

2 comments: