Merupakan cerita lanjutan dari Lembaran Kisah Klasik #2 yang belum membaca silahkan membacanya terlebih dahulu di sini Lembaran Kisah Klasik #2.
***
Lembaran Kisah Klaisk #3
Tok tok tok... *suara ketukan pintu*
Tok tok tok...
“Faisal... Faisal...”
“Hmm...”
“Faisal bangun, sudah jam 2 siang”
“Nanti buu... tadi malam aku tidak tidur. Lagian kan
ini hari minggu”
“Iya ibu tau, tapi katanya kamu ada janji sama Nita jam
1”
“Astagfifullahhalazim *Loncat dari tempat tidur* Ibuu...
Kenapa tidak membangunkanku sejak tadi”
“Ibu sudah membangunkanmu sejak tadi, tapi kamu saja
yang tidak bangun-bangun”
“Iya sudah, tapi lain kali jika saat malam aku bilang
pada Ibu bahwa aku besok ada janji dengan Nita, ibu bangunkan aku hingga aku
terbangun sebelum waktunya, ok bu”
“Iya cepat mandi, kasihan Nita sudah menunggumu sangat
lama”
“OK”
***
Hari
ini aku janjian dengan nita untuk bertemu di bawah pohon di pinggir sungai yang
biasa kita datangi. Namun aku terlambat 1 jam, oh yaa 1 jam itu tidak sebentar.
Teringat semalaman aku menghabiskan waktu untuk menulis sebuah cerita tentang
aku dan Nita. Entah apa yang terpikirkan olehku hingga aku menuliskan cerita seperti
ini. Mungkin aku terlalu mencintainya, atau karena dia cinta pertama dan pacar
pertamaku, atau mungkin kisah ini terlalu sayang untuk di kenang dalam ingatan
begitu saja, atau..., atau,... atau. Oh tidak, semua itu masuk akal, namun
alasan terbesarku adalah karena aku mencintainya, benar-benar mencintainya.
Aku
mengayuh sepedaku sangat cepat, berharap Nita masih menungguku di pohon itu.
Terlihat dari kejauhan dia duduk mengarah ke sungai sambil membuat api. Aku
mendekatinya perlahan.
“Hay Nita...”
“...”
“Nita ngapain bakar-bakar kayu di pinggir sungai, kaya
anak hilang aja” *duduk di sampingnya*
“...” *mukulin arang*
“Ey... ey... jangan di pukulin gitu dong arangnya,
percikannya terbang-terbang ini”
“Biarin”
“Cie marah, terlalu lama nungu ya? maaf aku baru bangun
tidur”
“Siapa nunggu siapa? Aku nunggu kamu? Ihh siapa kamu?
Aku nunggu pacar aku!!!”
“Haha pacar aku kan kamuuu” *Cubit pipi Nita*
“Ahh jangan pegang-pegang aku, mana pancingnya? Katanya
mau ajak aku mancing!”
“Hehe ini ada di tas”
Mancing
di pinggir sungai? Haha kami lebih cocok di sebut sebagai sepasang bocah dari
pada sepasang kekasih. Ini gak ada romantis-romantisnya, kaya anak kecil aja
ya?. Biar aja yang penting kami senang, hehe.
“Hey Nita, apa yang kau lakukan di pohon itu? Nanti
pancingmu di patuk ikan lho”
“Jagain dulu pancingku, aku lagi buat sesuatu ini”
“Apa? Aku mau liat”
“Iya, sini”
“Ohh buat lambang cinta, cie romantisnya pacar aku”
“Hehe, ini sudah jadi”
“Waah bagus juga, tapi kalau Cuma kulit pohonnya aja,
dalam beberapa bulan juga sudah tertutup lagi, sini coba aku yang
melanjutkannya” *mengambil pisau yang ada di tangan Nita*
Aku
melanjutkan pahatan lambang cinta itu, aku memahat bagian kayu pohonnya dengan
menggunakan pisau. Pahatan itu telah menjadi lebih rapi dan lebih dalam,
lambang yang terkesan lebih abadi. Seperti itu juga cinta yang aku harapkan
untuk aku dan Nita “Abadi”. Setelah lambang itu jadi kami berpelukan untuk
beberapa saat, dan berjanji bahwa kita akan selalu bersama.
“Sal itu pancingnya goyang-goyang lagi” *kata Nita*
“Lho itu kan pancingmu, tarik sana”
“Ok *Menarik pancing sekuat tenaga* Horeee dapat ikan
besar lagi” *Loncat-loncat girang*
“Hey kamu Nitaaaa nariknya jangan kuat betul, hampir
kena kepalaku”
“Hehe maaf, seru sih. Ayo kita bunuh ikannya”
“Ayo kita bakar hidup-hidup”
“Haha... jangan, kasian”
“Hehe iya, bersihin sana ikannya, kita bakar”
Mentari
sudah berada di upuk barat, pertanda waktunya kami untuk pulang. Kencan kami
hari ini cukup menyenangkan, walaupun yaa lebih cocok di bilang mainan dari
pada kencan. Aku mengantar Nita pulang, di perjalanan pulang, aku teringat akan
suatu hal yang Nita katakan di sekolah. Sebentar lagi Nita akan melaksanakan
Ujian Nasional. Sejuta pikiran aneh mulai muncul di benakku. Bukan karena dia
akan ujian dan aku tak bisa menemuinya untuk beberapa saat. Yang aku fikirkan
justru setelah kelulusan. Apa yang akan terjadi?. Dia pergi meninggalkan kota
kecil ini untuk melanjutkan pendidikan? Meninggalkanku? Lantas bagaimana
denganku? Apakah aku akan kehilangan dia? Apakah hubungan ini masih tetap bisa
di lanjutkan? Apakah dia akan tetap bisa setia?. Aaah... semua fikiran ini
begitu membebaniku, tapi aku masih belum berani untuk menanyakannya. Aku belum
siap dengan jawaban yang akan dia berikan nanti.
Kami
tiba di depan rumah Nita, aku terkejut ketika melihat ada mobil polisi yang
parkir tepat di hadapanku. Terlihat dua sosok pria muda berseragam coklat
sangat rapi keluar dari mobil. Mereka tersenyum pada Nita seakan sudah saling
mengenal. Aku mulai bingung dengan apa yang terjadi, Nita pun menjelaskannya
kepadaku. Mereka adalah polisi yang sedang melakukan penyidikan tentang ayahnya
yang terbunuh dalam kecelakaan tabrak lari. Hmm... aku diam sejenak, sungguh
aku baru mengetahui bahwa ayah Nita meninggal karena menjadi korban dalam
kecelakaan tabrak lari. Ahh... emosi aku mengetahuinya, ingin rasanya aku
memukuli orang yang tidak bertanggung jawab itu. Aku berharap kasus ini akan
segera menemukan ujungnya.
***
Hari
ini kami bersekolah seperti biasa, dan seperti baiasa pula aku menghampiri
kelas Nita sejenak hanya untuk mengajaknya ke taman belakang sekolah saat
istirahat. Kami duduk di tepi kolam yang tepat berada di bawah pohon besar yang
menyejukkan. Ikan mas berwarna orange mendominasi ikan yang berada di kolam,
angin berhembus menyejukkan membuat siang ini begitu terasa menyegarkan.
“Sal, minggu depan aku ujian” Nita membuka pembicaraan
“Iya Nit, aku sudah tau. Kenapa? Mau serius belajar
yaa?”
“Hmm iya, mulai besok kita gak usah ketemu dulu yaa”
*senyum* “Iya, aku ngerti kok. Belajar yang betul ya.
“Hehe iya, cuma sampai ujian selesai kok. Setelah itu
kita bisa bertemu lagi”
“Iya, sudah fokus aja ke ujiannya. Gak usah fikirin
dulu tentang kita”
“Makasih ya sayang, doain aku lulus ya” *peluk*
“Iya, amin. Pasti lulus”
Jujur
sesungguhnya yang terlintas di fikiranku setiap kali teringat bahwa dia akan
ujian nasional, aku berharap dia tidak lulus. Hingga membuatnya masih tertahan
di sini, di sekolah ini, bersamaku. Ahh tapi tidak, tidak boleh seperti itu,
fikiran kecil jahatku itu tidak boleh membuatku egois. Dia harus lulus dan
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang dia inginkan. Walaupun
harapannya itu sedikit menyiksa otak dan batinku saat ini, tapi aku harus
percaya kepadanya.
Bel
berbunyi mengisyaratkan untuk waktunya pulang. Awan hitam mulai menghiasi
langit, rintik-rintik air turun perlahan kebumi seakan memaksa kami untuk
segera sampai di rumah sebelum hujan. Sepeda ontel ku telah membantuku untuk
cepat tiba di rumah Nita. Perlahan Nita turun dari sepedaku, seketika itu lima
orang polisi dan ibu Nita keluar dari rumah seakan sangat terburu-buru.
“Ibu mau kemana?” #Kata Nita
“Ayo Nita cepat masuk ke mobil, kita akan menangkap
orang yang telah membunuh ayahmu, ajak juga Faisal”
“Baik bu”
Expresi
Nita sungguh sangat mengerikan saat itu, tapi wajar saja, sudah tentu dia
dendam kepada orang yang telah membunuh ayahnya, orang yang sangat berarti di
hidupnya itu. Terlebih lagi secara tidak bertanggung jawab. Bukan hanya nita,
aku pun sangat emosi dan bahkan aku ingin memukuli orang itu dengan sekuat
tenaga.
Aku
duduk di bagian belakang jok mobil polisi bersama Nita dan Ibunya, sementara
dua polisi yang berada di depan. Sisanya tiga polisi itu berada di mobil lain. Jujur ini
baru pertama kalinya aku berada dalam mobil polisi, ini cukup menegangkan. Eh
menegangkan bukan karena aku tidak pernah naik mobil, aku sering jalan bersama
ayah dan ibuku dengan mobil taxi yang ayahku kendarai. Menegangkan yang aku
maksud adalah karena kami akan menangkap penjahat. Aku merasa bagaikan jadi
anggota polisi.
Langit
semakin gelap, awan hitam telah melapisi seluruh bagian langit. Langit yang
seharusnya berwarna biru bercampur orange di arah barat ini telah menjadi hitam
pekat menakutkan. Air yang tadinya hanya rintik-rintik turun secara perlahan pun kini telah menjadi hujan yang amat deras. Petir pun
seakan tak ingin ketinggalan, petir menyambar-nyambar dengan suaranya yang
begitu menggelegar. Ahh entah apa yang aku pikirkan ini, tiba-tiba mobil
berhenti di sebuah rumah yang sangat aku kenali. Aku diam sejenak. Kedua polisi
itu keluar terlebih dahulu, kemudian di ikuti oleh tiga orang polisi yang
berada di mobil bak berbuka yang berfungsi untuk membawa tersangka kejahatan.
Tak lama Nita pun keluar dengan ibunya, Nita meneriakiku dari luar mobil
memintaku untuk keluar dan menyusul mereka. “Tidak Nita, kamu saja. hujan”.
Hujan? Hmm iya sepertinya hanya itu yang dapat aku jadikan alasan. Tak lama
seorang bapak-bapak keluar dari rumah diikuti oleh seorang wanita yang tampak
jelas itu adalah istrinya.
Aku
keluar dari mobil, ku berjalan dengan perlahan, hembusan angin yang begitu
kencang seakan mencoba untuk merobohkanku. Belum lagi hujan yang terus
menghujamiku bertubi-tubi. Baru sesaat aku berada diluar mobil, namun pakaian
yang aku kenakan ini telah basah kuyup. Ohh tidak, aku harus kuat. Perlahan
kakiku sepertinya tak mampu untuk menopangku lebih lama lagi, aku tak sanggup
untuk berjalan. Aku terduduk ditengah hujan ketika aku melihat bapak itu
di borgol oleh salah seorang polisi. Ahhhhh... apa yang terjadiiii. Aku tidak
percaya semua ini. Orang yang di borgol itu adalah Ayahku. Ayahkuuu.
Sejak saat itu, aku sangat membenci hujan di kala
senja.
#Bersambung
###
cerita yang bagus untuk dibaca.
ReplyDeleteTerimakasih :D Baca yang lain juga
DeleteEndingnya bener-bener bikin penasaran.
ReplyDeleteHehe tunggu sebentar lagi.
Deletejahat banget punya pikiran kalo tuh orang biar gak lulus unas :( wkwk
ReplyDeletebut, at least, nice story :D
Hihi kalau itu berdasarkan pengalaman pribadi.
DeleteTerimakasih :))
Yah kok pake bersambung sih, pingin tau lanjutannya :p
ReplyDeleteHehe biar seru dong dan bikin penasaran pembaca :D
Delete