Mendung
senja kali ini benar-benar membuatku merasa tenggelam dalam kehampaan. Ku
terduduk di sebuah cafe pinggir sungai yang beratapkan langit, langit mendung
yang seakan mengusirku pergi. Entah
berapa lama aku tak pernah datang kemari, dulu semua ini hanyalah sebuah sungai
yang di hiasi oleh pepohonan yang rimbun. Semuanya, sekarang telah berubah.
Sejauh mataku memandang hanya ada bangunan-bangunan baru yang seingatku tak
pernah ada disini., sejumlah orang dengan kesibukannya masing-masing, dan
berbagai kendaraan moderen.
Hujan
tiba-tiba turun dengan begitu derasnya, aku membungkus laptop ku dalam tas yang
telah aku siapkan sebuah plastik agar tak basah. Aku berjalan di hujan, tanpa
memperdulikan orang berlari-lari mencari tempat berteduh. Aku begitu membenci
hujan, dulu... aku sangat menyukai hujan, tapi... ahh semuanya memang telah
berubah. Aku mengambil sebuah topi yang ada di tas ku, aku mengenakannya di
kepalaku agar wajahku tak begitu terlihat (tak terlihat menyedihkan).
Hujan
deras disertai dengan angin kencang ini menerbangkan topi ku, aku mengejar topi
itu dan terhenti karena ada sebuah pohon yang menahannya. Aku mengambil topi
ku, namun aku sangat terkejut ketika melihat pohon tua yang sepertinya sangat
ku kenal. Pohon Cinta? Yaa dulu kami menyebutnya dengan sebutan “pohon cinta”.
Aku mengitari pohon itu, dan aku menemukan sesuatu. Sesuatu yang sangat tak
asing bagiku. Aku mencari sesuatu yang mungkin dapat membantuku untuk mengambil
sebuah botol yang tertancap di dalam batang pohon itu. Aku menemukan sebuah
obeng di dalam tas ku. Ku mencoba untuk melubangi pohon itu dengan obeng yang
ku pegang. Walaupun hanya tutup botol yang terlihat dari luar, tapi aku akan
tetap memaksakan diri untuk mengeluarkannya. Dengan sekuat tenaga ku lakukan,
tanganku pun mulai berlumuran darah karena terkena pecahan botol itu.
Aku
berhasil mengambil lembaran kertas yang ada di dalam botol yang tertancap di
pohon. Dengan perlahan aku membukanya, ini adalah ceritaku yang aku tuliskan
untuknya 10 tahun yang lalu.
1997.
Nama
ku Faisal, aku adalah seorang pelajar di sebuah sekolah SMA. Hari ini seperti
biasa aku berangkat sekolah dengan mengayuh sepedaku dengan kecepatan tinggi,
karena aku tau, gerbang sekolah akan segera di tutup. Sesampainya ku di bagian depan sekolah,
ternyata gerbang sekolah sudah tertutup, aku berputar arah menuju ke bagian
belakang sekolah. Ku menaiki pagar sekolah yang cukup tinggi. Saat di atas
pagar, ku melihat seorang bidadari berada di taman bunga, memegang setangkai bunga
mawar merah. Ku terdiam, semua terasa slow motion. Detik demi detik itu
terlalui seakan hanya dia lah yang mampu menghentikan waktu. Senyumnya yang
sangat indah, rambut panjangnya yang terurai itu tertiup oleh hembusan angin
yang membuatku seakan terbius olehnya. Namun semua itu sirna ketika seorang
guru meneriakiku.
"Woy turun kau,
dasar murid berandalan"
Ohh
tidak, nasip ku sungguh sial. Aku tertangkap oleh Pak jhon, seorang guru yang
sangat kejam di sekolahku. Pak jhon mencambuki kaki ku dengan rotan yang selalu
ia bawa di sekolah. Tapi entah mengapa tak ada sedikitpun sakit yang aku
rasakan. Karena mungkin aku telah jatuh cinta, cinta yang pertama pada
pandangan yang pertama.
Aku
memasuki ruang kelasku, ku terdiam membisu. Semua mata pelajaran berlalu tak
ada yang ku hiraukan. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kelas. Ku
berkeliling sekolah, mencari bidadari mawarku. Aku mengintip ke segala ruang
kelas. Hingga di sebuah kelas aku melihatnya, dia adalah kakak kelasku. Kemana
aku selama ini? Mengapa aku tak menyadari bahwa ada seseorang wanita yang
*dalam khayal ku*, dia memang tercipta untuk bersamaku.
Sepulang
sekolah, aku menunggunya di depan gerbang. Berharap aku bisa berkenalan dan
mengajaknya pulang bersama. Tak lama kemudian, aku melihatnya, dia berjalan
bersama teman-teman sekelasnya. Perlahan ku mulai melangkahkan kaki ku. Tapi
aku terhenti, kaki ku seakan lumpuh. Senyumannya membuatku seakan menjadi
pecundang. Aku membiarkan dia lewat begitu saja.
Esok
harinya, aku mendatangi kelasnya. Sepucuk surat dan setangkai bunga mawar merah
telah ku genggam erat. Namun ternyata, perjalananku tak seperti yang aku
bayangkan. Aku harus berhadapan dengan para kakak kelasku yang sangat tidak
terima dengan kedatanganku untuknya. Mereka menghadangku di depan pintu kelas
mereka. Aku yang sendiri, tentu sangat tidak mungkin untuk melawan mereka
semua. Aku berlari kembali menuju kelasku. Ku coba memutar otak untuk mencari
cara agar aku bisa memberikan surat dan bunga ini.
Bel berbunyi pertanda istirahat pertama. Aku tau ini adalah saat yang
tepat. Karena jam istirahat pertama, tentunya kelas sepi. Aku mulai memasuki
ruang kelas, masih ku ingat jelas lokasi tempat dia duduk. Ku lihat ada dua
wanita duduk di kelas dan menatapku. Karena sungkan, aku pun tak ada bicara
pada mereka. Ku hanya menaruh sepucuk surat dan bunga mawar merah di lacinya,
kemudian pergi. Aku berharap dia membalas surat itu. Karena memang dalam surat
itu aku tuliskan pesan agar dia membalas suratku dan membiarkan balasan surat
itu di lacinya. Sepulang sekolah, aku melihatnya menangis. Aku merasa hina
karena masih saja tak berani mengejarnya untuk menghapuskan air mata di
pipinya.
Keesokan harinya. Aku kembali mendatangi kelasnya, aku terkejut. Amplop
yang tak terbuka dan bunga yang mulai melayu itu, juga seakan melayukan niat
ku. Tiba-tiba seorang wanita (teman sekelasnya) menghampiriku. Dia memberi tau
ku jika kemarin ayahnya meninggal dunia. Mereka memintaku untuk menghiburnya
dan juga memintaku agar tetap semangat, tak cepat menyerah. Seketika itu,
semangatku kembali berkobar. Aku berlari ke arah taman di belakang sekolah. Aku
mencari daun jati yang berbentuk love. Kemudian menempelkan kelopak-kelopak
bunga yang telah aku potong-potong dan membentuk tulisan : "senyum dong,
bunganya layu tuh liat kamu sedih". Aku menaruh daun jati yang aku
sandingkan dengan bunga mawar merah yang telah ku ganti. Walaupun aku tau dia
tak bersekolah hari ini
Hari ini, aku mendatangi kelasnya lagi. Aku sangat terkejut ketika ku mulai
melangkah kan kaki ke dalam ruangan. Aku melihatnya duduk manis di bangkunya,
terlihat olehku di sudut mejanya terdapat setangkai bunga mawar merah dalam vas
bunga yang berisi air. Perlahan aku mundur dan berlindung di balik tembok.
Lagi-lagi aku menjadi pecundang yang sangat memalukan. Aku berfikir dan mulai
mengambil sebuah tindakan. Ada banyak bunga mawar merah bermekaran di depan
kelasnya. Ku mencoba memetik 3 tangkai bunga. Baju telah ku rapikan, aku siap
memasuki ruangan. Langkah demi langkah ku lakukan secara pasti, jantungku
berdebar sangat cepat. Sungguh yang ingin aku lakukan saat itu hanyalah berlari
sejauh mungkin. Tapi aku merasa, saat ini adalah waktu yang tepat. Aku tak akan
berani menampakkan wajahku di hadapannya lagi jika aku menjadi pecundang saat
ini. Aku berada di hadapannya, baru kali ini kami berada dalam jarak yang
sedekat ini. Dua tangkai bunga mawar merah ku taruh di dalam vas bunga di pojok
mejanya. Aku menatapnya, matanya pun juga tertuju padaku. Aku gugup, ohh
tidak... apa yang harus aku katakan?. Ku melipatkan kakiku dengan gaya
memberikan sebuah bunga untuk seorang putri. Dia tersenyum dan berkata
"Terimakasih"
"Emm, iya. Aku
Faisal" *keringat dingin*
"Iya aku tau kok,
aku sudah baca suratmu tadi" *senyum manis*
"He iya, maaf ya
sudah lancang datangin kamu. Kakak kelasku"
"Gak apa kok, aku
senang kamu sudah kasih aku semua ini"
"He *garuk-garuk
kepala*"
"ohh iya, nama
aku Nita Lestari, salam kenal ya" *sambil mengulurkan tangannya*
"(Ohh tidak
haruskah aku mengulurkan tanganku #dalamhati)" *aku menyentuh tangannya*
*keringat dingin semakin membasahi tubuhku*
Tak lama kemudian lonceng sekolah berbunyi, pertanda jam istirahat telah
berakhir. Teringat olehku para kakak kelas yang tak menerima keberadaanku. Aku
pamit dan bergegas pergi. Tapi, sepertinya aku terlambat pergi, mereka
menghadangku.
"Hey, apa yang
kau lakukan disini hah?"
"Maaf, aku cuma
mendatangi Nita"
"Ohh datangi nita
ya?, terima ini"
Satu pukulan tepat mengenai wajahku, aku tidak terima dan membalas pukulan
itu. Teman-temannya pun mengambil tindakan dan mulai mengeroyokiku. Aku mencoba
melawan sebisaku, tapi apa daya. Aku yang sendiri sangat tidak mungkin menang,
aku babak belur. Melihat ada keributan, semua teman-teman sekelasku mulai
mencoba melawan dan menyelamatkanku. Aku berdiri lagi dan mencoba melanjutkan
pertarungan. Dalam keributan itu aku mendengar suara Nita berteriak-teriak
mencoba menghentikan perkelahian ini. Semua ini terhenti ketika pak jhon
berteriak-teriak sembari mencambuk-cambukkan rotan di meja kelas. Kami semua di
bariskan di tengah lapangan di tengah teriknya matahari. Berlari keliling
lapangan, di bentak-bentak, dan di cambuki dengan rotan. Itu adalah hukuman yang
kami terima, selain itu kami harus menandatangani surat perjanjian tak
mengulangi perbuatan itu lagi didalam dan diluar sekolah. Yang mana bila
melanggar akan di keluarkan dari sekolah.
Jam pulang sekolah telah tiba, hujan deras menghampiri. Seluruh
badanku terasa sakit, mungkin memar-memar di tubuhku ini sudah mulai membiru.
Ku jalan dengan perlahan, mencoba menerobos hujan yang aku tau akan membuat
tubuhku terasa lebih sakit. Aku terhenti ketika baru beberapa langkah berjalan,
saat itu tak ada setetespun air yang membasahi tubuhku. Terdengar suara gemuruh
dari atas kepalaku, aku melihat ke atas, ku melihat sebuah payung berwarna
merah telah melindungiku dari hujan. Aku menoleh kebelakang, dan ku melihat Nita.
Kepalanya sedikit menunduk, matanya merah, air matanya pun mengalir. Ku meraih
payungnya, ku mengusap air mata di pipinya dan mencoba menenangkannya.
“Maafkan aku” *kata
nita
“Kenapa harus minta
maaf?”
“Karena kamu sudah
mencoba menghiburku tadi, kamu jadi harus berkelahi dan di kroyok oleh
teman-temanku. Maafkan aku”
“Ini bukan salahmu, aku
yang salah sudah lancang mencoba mendekatimu”
“Aku takut sesuatu yang
buruk terjadi padamu, aku tak akan pernah memaafkan diriku sendiri”
“Aku baik-baik saja,
jangan menangis, nanti hujannya gak akan berhenti lho”
“*senyum manis*”
Kami
berjalan di bawah payung yang sama, hujan ritik-rintik menemani setiap langkah
ku dan dia. Ini adalah saat terindah dalam hidupku bersama dengan seorang
wanita. Aku merasa begitu bahagia, ku percaya waktu tidak akan cepat berlalu.
Karena aku bersama dengan seseorang yang mampu menghentikan waktu (ku). Dia
adalah bidadari mawarku. Semoga hari ini, esok dan seterusnya. Aku bisa selalu
bersamanya dalam rasa yang mereka sebut dengan kata “cinta”.
#Bersambung
***
Gue
bingung mau ngomong apa, yang jelas terimakasih sudah membaca dan silahkan
menunggu lanjutan ceritanya di “Lembaran Kisah Klasik #2”
###
Kereen!! Berbakat jadi penulis nih :D ditunggu lanjutannya.
ReplyDeletehaha amin... ok silahkan menunggu :).
ReplyDeleteSalam Kenal ya sob :)
ReplyDeleteok sob
ReplyDeletesalam kenal sob :D
ReplyDeleteok follback sob
ReplyDeletewah nice story, ditunggu lanjutannya :)
ReplyDeletefolback yuk :)
salam kenal
Hehe iya ini mau di lanjutin.
ReplyDeleteMakasih ya.
Sudah di follback.
Salam kenal juga :)
Ini keren Kak!
ReplyDeleteSaya tunggu bagian berikutnya :D
haha masih berantakan ini.
ReplyDeleteok makasih