Saturday, October 19, 2013

Lembaran Kisah Klasik #1



Mendung senja kali ini benar-benar membuatku merasa tenggelam dalam kehampaan. Ku terduduk di sebuah cafe pinggir sungai yang beratapkan langit, langit mendung yang seakan mengusirku pergi.  Entah berapa lama aku tak pernah datang kemari, dulu semua ini hanyalah sebuah sungai yang di hiasi oleh pepohonan yang rimbun. Semuanya, sekarang telah berubah. Sejauh mataku memandang hanya ada bangunan-bangunan baru yang seingatku tak pernah ada disini., sejumlah orang dengan kesibukannya masing-masing, dan berbagai kendaraan moderen.


Hujan tiba-tiba turun dengan begitu derasnya, aku membungkus laptop ku dalam tas yang telah aku siapkan sebuah plastik agar tak basah. Aku berjalan di hujan, tanpa memperdulikan orang berlari-lari mencari tempat berteduh. Aku begitu membenci hujan, dulu... aku sangat menyukai hujan, tapi... ahh semuanya memang telah berubah. Aku mengambil sebuah topi yang ada di tas ku, aku mengenakannya di kepalaku agar wajahku tak begitu terlihat (tak terlihat menyedihkan).

Hujan deras disertai dengan angin kencang ini menerbangkan topi ku, aku mengejar topi itu dan terhenti karena ada sebuah pohon yang menahannya. Aku mengambil topi ku, namun aku sangat terkejut ketika melihat pohon tua yang sepertinya sangat ku kenal. Pohon Cinta? Yaa dulu kami menyebutnya dengan sebutan “pohon cinta”. Aku mengitari pohon itu, dan aku menemukan sesuatu. Sesuatu yang sangat tak asing bagiku. Aku mencari sesuatu yang mungkin dapat membantuku untuk mengambil sebuah botol yang tertancap di dalam batang pohon itu. Aku menemukan sebuah obeng di dalam tas ku. Ku mencoba untuk melubangi pohon itu dengan obeng yang ku pegang. Walaupun hanya tutup botol yang terlihat dari luar, tapi aku akan tetap memaksakan diri untuk mengeluarkannya. Dengan sekuat tenaga ku lakukan, tanganku pun mulai berlumuran darah karena terkena pecahan botol itu.

Aku berhasil mengambil lembaran kertas yang ada di dalam botol yang tertancap di pohon. Dengan perlahan aku membukanya, ini adalah ceritaku yang aku tuliskan untuknya 10 tahun yang lalu.

1997.
Nama ku Faisal, aku adalah seorang pelajar di sebuah sekolah SMA. Hari ini seperti biasa aku berangkat sekolah dengan mengayuh sepedaku dengan kecepatan tinggi, karena aku tau, gerbang sekolah akan segera di tutup.  Sesampainya ku di bagian depan sekolah, ternyata gerbang sekolah sudah tertutup, aku berputar arah menuju ke bagian belakang sekolah. Ku menaiki pagar sekolah yang cukup tinggi. Saat di atas pagar, ku melihat seorang bidadari berada di taman bunga, memegang setangkai bunga mawar merah. Ku terdiam, semua terasa slow motion. Detik demi detik itu terlalui seakan hanya dia lah yang mampu menghentikan waktu. Senyumnya yang sangat indah, rambut panjangnya yang terurai itu tertiup oleh hembusan angin yang membuatku seakan terbius olehnya. Namun semua itu sirna ketika seorang guru meneriakiku.

"Woy turun kau, dasar murid berandalan"

Ohh tidak, nasip ku sungguh sial. Aku tertangkap oleh Pak jhon, seorang guru yang sangat kejam di sekolahku. Pak jhon mencambuki kaki ku dengan rotan yang selalu ia bawa di sekolah. Tapi entah mengapa tak ada sedikitpun sakit yang aku rasakan. Karena mungkin aku telah jatuh cinta, cinta yang pertama pada pandangan yang pertama.

Aku memasuki ruang kelasku, ku terdiam membisu. Semua mata pelajaran berlalu tak ada yang ku hiraukan. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kelas. Ku berkeliling sekolah, mencari bidadari mawarku. Aku mengintip ke segala ruang kelas. Hingga di sebuah kelas aku melihatnya, dia adalah kakak kelasku. Kemana aku selama ini? Mengapa aku tak menyadari bahwa ada seseorang wanita yang *dalam khayal ku*, dia memang tercipta untuk bersamaku.

Sepulang sekolah, aku menunggunya di depan gerbang. Berharap aku bisa berkenalan dan mengajaknya pulang bersama. Tak lama kemudian, aku melihatnya, dia berjalan bersama teman-teman sekelasnya. Perlahan ku mulai melangkahkan kaki ku. Tapi aku terhenti, kaki ku seakan lumpuh. Senyumannya membuatku seakan menjadi pecundang. Aku membiarkan dia lewat begitu saja.

Esok harinya, aku mendatangi kelasnya. Sepucuk surat dan setangkai bunga mawar merah telah ku genggam erat. Namun ternyata, perjalananku tak seperti yang aku bayangkan. Aku harus berhadapan dengan para kakak kelasku yang sangat tidak terima dengan kedatanganku untuknya. Mereka menghadangku di depan pintu kelas mereka. Aku yang sendiri, tentu sangat tidak mungkin untuk melawan mereka semua. Aku berlari kembali menuju kelasku. Ku coba memutar otak untuk mencari cara agar aku bisa memberikan surat dan bunga ini.

Bel berbunyi pertanda istirahat pertama. Aku tau ini adalah saat yang tepat. Karena jam istirahat pertama, tentunya kelas sepi. Aku mulai memasuki ruang kelas, masih ku ingat jelas lokasi tempat dia duduk. Ku lihat ada dua wanita duduk di kelas dan menatapku. Karena sungkan, aku pun tak ada bicara pada mereka. Ku hanya menaruh sepucuk surat dan bunga mawar merah di lacinya, kemudian pergi. Aku berharap dia membalas surat itu. Karena memang dalam surat itu aku tuliskan pesan agar dia membalas suratku dan membiarkan balasan surat itu di lacinya. Sepulang sekolah, aku melihatnya menangis. Aku merasa hina karena masih saja tak berani mengejarnya untuk menghapuskan air mata di pipinya.

Keesokan harinya. Aku kembali mendatangi kelasnya, aku terkejut. Amplop yang tak terbuka dan bunga yang mulai melayu itu, juga seakan melayukan niat ku. Tiba-tiba seorang wanita (teman sekelasnya) menghampiriku. Dia memberi tau ku jika kemarin ayahnya meninggal dunia. Mereka memintaku untuk menghiburnya dan juga memintaku agar tetap semangat, tak cepat menyerah. Seketika itu, semangatku kembali berkobar. Aku berlari ke arah taman di belakang sekolah. Aku mencari daun jati yang berbentuk love. Kemudian menempelkan kelopak-kelopak bunga yang telah aku potong-potong dan membentuk tulisan : "senyum dong, bunganya layu tuh liat kamu sedih". Aku menaruh daun jati yang aku sandingkan dengan bunga mawar merah yang telah ku ganti. Walaupun aku tau dia tak bersekolah hari ini

Hari ini, aku mendatangi kelasnya lagi. Aku sangat terkejut ketika ku mulai melangkah kan kaki ke dalam ruangan. Aku melihatnya duduk manis di bangkunya, terlihat olehku di sudut mejanya terdapat setangkai bunga mawar merah dalam vas bunga yang berisi air. Perlahan aku mundur dan berlindung di balik tembok. Lagi-lagi aku menjadi pecundang yang sangat memalukan. Aku berfikir dan mulai mengambil sebuah tindakan. Ada banyak bunga mawar merah bermekaran di depan kelasnya. Ku mencoba memetik 3 tangkai bunga. Baju telah ku rapikan, aku siap memasuki ruangan. Langkah demi langkah ku lakukan secara pasti, jantungku berdebar sangat cepat. Sungguh yang ingin aku lakukan saat itu hanyalah berlari sejauh mungkin. Tapi aku merasa, saat ini adalah waktu yang tepat. Aku tak akan berani menampakkan wajahku di hadapannya lagi jika aku menjadi pecundang saat ini. Aku berada di hadapannya, baru kali ini kami berada dalam jarak yang sedekat ini. Dua tangkai bunga mawar merah ku taruh di dalam vas bunga di pojok mejanya. Aku menatapnya, matanya pun juga tertuju padaku. Aku gugup, ohh tidak... apa yang harus aku katakan?. Ku melipatkan kakiku dengan gaya memberikan sebuah bunga untuk seorang putri. Dia tersenyum dan berkata

"Terimakasih"

"Emm, iya. Aku Faisal" *keringat dingin*

"Iya aku tau kok, aku sudah baca suratmu tadi" *senyum manis*

"He iya, maaf ya sudah lancang datangin kamu. Kakak kelasku"

"Gak apa kok, aku senang kamu sudah kasih aku semua ini"

"He *garuk-garuk kepala*"

"ohh iya, nama aku Nita Lestari, salam kenal ya" *sambil mengulurkan tangannya*

"(Ohh tidak haruskah aku mengulurkan tanganku #dalamhati)" *aku menyentuh tangannya* *keringat dingin semakin membasahi tubuhku*

Tak lama kemudian lonceng sekolah berbunyi, pertanda jam istirahat telah berakhir. Teringat olehku para kakak kelas yang tak menerima keberadaanku. Aku pamit dan bergegas pergi. Tapi, sepertinya aku terlambat pergi, mereka menghadangku.

"Hey, apa yang kau lakukan disini hah?"

"Maaf, aku cuma mendatangi Nita"

"Ohh datangi nita ya?, terima ini"


Satu pukulan tepat mengenai wajahku, aku tidak terima dan membalas pukulan itu. Teman-temannya pun mengambil tindakan dan mulai mengeroyokiku. Aku mencoba melawan sebisaku, tapi apa daya. Aku yang sendiri sangat tidak mungkin menang, aku babak belur. Melihat ada keributan, semua teman-teman sekelasku mulai mencoba melawan dan menyelamatkanku. Aku berdiri lagi dan mencoba melanjutkan pertarungan. Dalam keributan itu aku mendengar suara Nita berteriak-teriak mencoba menghentikan perkelahian ini. Semua ini terhenti ketika pak jhon berteriak-teriak sembari mencambuk-cambukkan rotan di meja kelas. Kami semua di bariskan di tengah lapangan di tengah teriknya matahari. Berlari keliling lapangan, di bentak-bentak, dan di cambuki dengan rotan. Itu adalah hukuman yang kami terima, selain itu kami harus menandatangani surat perjanjian tak mengulangi perbuatan itu lagi didalam dan diluar sekolah. Yang mana bila melanggar akan di keluarkan dari sekolah.

            Jam pulang sekolah telah tiba, hujan deras menghampiri. Seluruh badanku terasa sakit, mungkin memar-memar di tubuhku ini sudah mulai membiru. Ku jalan dengan perlahan, mencoba menerobos hujan yang aku tau akan membuat tubuhku terasa lebih sakit. Aku terhenti ketika baru beberapa langkah berjalan, saat itu tak ada setetespun air yang membasahi tubuhku. Terdengar suara gemuruh dari atas kepalaku, aku melihat ke atas, ku melihat sebuah payung berwarna merah telah melindungiku dari hujan. Aku menoleh kebelakang, dan ku melihat Nita. Kepalanya sedikit menunduk, matanya merah, air matanya pun mengalir. Ku meraih payungnya, ku mengusap air mata di pipinya dan mencoba menenangkannya.

“Maafkan aku” *kata nita

“Kenapa harus minta maaf?”

“Karena kamu sudah mencoba menghiburku tadi, kamu jadi harus berkelahi dan di kroyok oleh teman-temanku. Maafkan aku”

“Ini bukan salahmu, aku yang salah sudah lancang mencoba mendekatimu”

“Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padamu, aku tak akan pernah memaafkan diriku sendiri”

“Aku baik-baik saja, jangan menangis, nanti hujannya gak akan berhenti lho”

“*senyum manis*”
           
Kami berjalan di bawah payung yang sama, hujan ritik-rintik menemani setiap langkah ku dan dia. Ini adalah saat terindah dalam hidupku bersama dengan seorang wanita. Aku merasa begitu bahagia, ku percaya waktu tidak akan cepat berlalu. Karena aku bersama dengan seseorang yang mampu menghentikan waktu (ku). Dia adalah bidadari mawarku. Semoga hari ini, esok dan seterusnya. Aku bisa selalu bersamanya dalam rasa yang mereka sebut dengan kata “cinta”.

#Bersambung
***

Gue bingung mau ngomong apa, yang jelas terimakasih sudah membaca dan silahkan menunggu lanjutan ceritanya di “Lembaran Kisah Klasik #2”


###

10 comments: