Sumber Foto : https://c1.staticflickr.com/9/8015/7255717818_6145fc4f18_z.jpg
Lanjutan dari kisah sebelumnya di Lembaran Kisah Klasik #3
###
Ohh tidak, mengapa ini bisa terjadi. Seseorang yang telah
membunuh Ayah Nita, seseorang yang sangat di benci Nita, seseorang yang sangat
ingin aku pukul, ternyata itu adalah Ayahku sendiri. Bagaimana caranya aku
menjelaskan hal yang tidak aku ketahui ini ke Nita. Ayah, Ibu, Nita, Ibu Nita
dan kelima polisi itu melihat ke arahku. Tiba-tiba Nita berlari mendekatiku dan
mencoba untuk membantuku berdiri.
“Hey sal, kamu kenapa?”
“Nit, dia... dia...”
“Apa sal, kenapa? Dia
siapa?”
“Dia ayahku”
“Haah?”
Nita
melepas tanganku dari genggamannya, dia menutup mulutnya dengan telapak
tangannya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Expresi rasa tak percayanya
itu sungguh terlihat jelas di hadapanku. Perlahan dia mundur, melangkahkan
kakinya dengan lamban.
“Apa ini sal? Ada apa
dengan semua ini?”
“Aku juga tidak tau
Nit, aku tak pernah tau akan hal ini”
“Bohong, kamu bohong
sal. Apa ini? Kamu mencoba untuk menghiburku setelah ayahku meninggal? Yang
ternyata si pembunuh ayahku itu adalah
ayahmu? Maksudmu kamu mencoba untuk menebus kesalahan ayahmu? Iya begitu?”
“Enggak nit, bukan. Aku
tak pernah bermaksud seperti itu. Aku pun tak pernah tau akan kejadian ini”
“Ahh bohong, Jangan
pernah berada di hidupku lagi. Aku tidak ingin melihatmu lagi”
Nita di tarik oleh Ibunya menuju mobil polisi, sementara
ayahku di naikkan ke atas mobil bak terbuka yang di jaga oleh dua polisi. Aku
melihat ibuku yang terduduk di lantai, menutup mulutnya yang mencoba menahan
suara dari tangisannya itu. Aku mendekati Ibuku, memeluknya dan menghapus air
matanya. “Sudah bu, aku yakin ayah tidak bersalah” hanya itu kalimat yang dapat
aku ucapkan saat ini, fikiranku begitu kacau dan tak terkendali.
***
Pagi ini, aku tetap pergi ke sekolah. Semuanya terasa
berbeda. Jelas berbeda! Tidak ada Nita yang duduk di belakang sepedaku. Belum
lagi ketika di rumah, tak ada ayahku yang biasanya selalu sarapan bersama. Ahh
aku kasihan kepada ibu. Dia masih terlihat sangat bersedih. Ku mulai
mengayuhkan pedal sepedaku untuk menuju ke sekolah, di pinggir jalan aku
menghentikan sepedaku. Tepat aku berhenti di depan rumah Nita. Ingin rasanya aku
memanggilnya, yang kemudian ia berlari sembari masih memperbaiki sepatu di
kakinya yang masih belum terpasang dengan benar, hehe lucu sekali. Tanpa sadar
aku senyum-senyum sendiri. Aku menghentikan senyumku, tersadar itu hanya
hayalanku semata. Mataku berlinang, bergegas aku mengayuh sepedaku dengan
cepat. Berharap air mata ini tidak menetes jika aku cepat pergi dari tempat
itu. Namun aku merasa telah salah mengambil tindakan. Aku melihat Nita di
hadapanku, tepat di depan gerbang sekolah kami. Air mata ku tak tertahankan lagi.
Aku meneteskan air mata ketika melihat Nita baru saja turun dari mobil polisi,
dia di antar oleh seorang polisi muda yang telah menangkap ayahku. Aku
menjatuhkan sepedaku dan mulai berlari untuk mengejar Nita, yang mencoba
menghindar setelah melihatku berada di hadapannya. Ku coba untuk menjelaskan
beberapa hal. Namun dia memalingkan tubuhnya dari hadapanku dan berkata :
"Cukup sal, apa
pun yang kamu katakan dan lakukan. Semua itu percuma. Tidak akan mengubah
apapun"
"Tapi Nit,
bagaimana dengan kita? Cinta kita?"
"Bagaimana bisa
kita melanjutkan cinta, jika melihatmu saja. Membuatku merasakan luka"
"Tapi..."
*meraih tangan Nita*
"KEMBALIKAN
AYAHKU, kamu bisa membuat ayahku hidup lagi? Tidak kan? Jadi, tolong Jangan
pernah muncul di hadapanku lagi" *melepas genggaman tanganku*
Dia menangis. Aku tau,
keadaan ini memang benar-benar membuatnya terpukul. Tapi, aku harus berbuat
apa? Tak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain memintanya untuk tetap
bersamaku. Aku tau, ini memang egois.
***
Dua
minggu telah berlalu setelah hari penangkapan ayahku, dan hari inilah saatnya
hari persidangan ayahku. Aku hadir bersama ibu dan pengacara kami. Terlihat di
sebelah kananku ada Nita dan Ibunya. Sesekali aku melihat ke arah mereka, walau
tak sekalipun mereka melihat ke kiri, ke arahku. Ayahku duduk di kursi depan.
Kursi tunggal itu nampaknya membuat ayahku terpukul oleh rasa malu. Dalam
persidangan seorang saksi mata mulai mencertiakan kronologis kejadiannya.
“Jadi pada saat itu
saya sedang duduk santai di depan toko saya, tiba-tiba saya mendengar suara
orang berteriak yang dibarengi dengan suara benturan yang keras. Saya berlari
mencari sumber suara itu yang berada di samping toko saya. Pada saat itu saya
melihat mobil taxi dengan plat no R 735 CH
yang telah kita ketahui bersama itu adalah mobil taxi yang di kemudikan
oleh bapak yang ada di kursi terdakwa ini. Saya yakin sekali karena saat itu
bapak ini sempat membuka kaca mobil untuk melihat keadaan orang yang di
tabraknya. Ketika itu saya sempat berteriak mencoba menghentikan bapak ini,
tapi dia melajukan mobilnya.”
Pengacara kami pun
mulai berbicara mengenai kronologis itu, dan terjadilah perdebatan panjang
antara pengacara kami dan jaksa penuntut. Semuanya telah di jabarkan dengan
beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Namun percuma, kami tidak
memiliki bukti atau saksi mata yang mampu memperkuat pembelaan pengacara kami.
Alhasil Hakim ketua pun membacakan beberapa pasal dan memberikan hukuman
penjara selama 15 tahun, atas tuduhan tabrak lari.
Palu di ketok menandakan keputusan telah di ambil.
Keputusan yang membuatku dan ibuku sangat terpukul seiring dengan ketokan palu
itu. Lima belas tahun??? Kenapa? Kenapa semua ini terasa tidak adil bagiku.
Ayah, apa yang terjadi sesungguhnnya?
Ku berjalan menuju
pintu keluar pengadilan dengan setengah menuntun ibu ku yang masih merasa shok
sehingga belum sanggup untuk berjalan sendiri. Bagaimana tidak shok, ayahku,
orang yang ia cintai di penjara. Siapa yang akan mencari nafkah, siapa yang
akan menjaga keluarga kami, bagaimana cara kami bertahan menghadapi semua
masalah, bagaimana bisa kita hidup disini sementara ayah berada di penjara,
bagaimana kita... Bruuug... seseorang menyenggol pundakku sehingga membuat
lamunanku terhenti, dan ketika ku mencari siapa dia, ternyata dia adalah Nita.
Fikiranku buyar seketika. Ku berlari meninggalkan ibuku untuk mengejar Nita, ku
raih tangannya sehingga dia berhenti dan tubuhnya menghadap ke arahku.
“Apa maksudnya? kenapa kamu
menyenggolku? Mau membuatku semakin emosi? Dua minggu lalu, kamu sudah
memutuskan hubungan kita, kemudian besoknya kamu mengahancurkan perasaanku
dengan berangkat sekolah bersama polisi muda itu, hari ini kamu telah membuat
ayahku di penjara atas segala tuduhan-tuduhan yang kalian berikan, dan sekarang
kamu menyenggolku? Apa maumu? Masih kurang puas? Hah? Mau menghancurkan
hidupku? Kenapa tidak kau bunuh saja aku?”
“Kenapa? Kenapa kamu
harus emosi? Kenapa kamu marah? Seharusnya aku yang marah, aku yang emosi.
Hanya 15 tahun hukuman penjara. Apa-apaan itu, tidak sebanding. Iya aku mau
menghancurkan HIDUPMU. Haha... tenang, aku tidak akan membunuhmu, tapi... jika
membunuhmu bisa membuat ayahku hidup kembali, aku akan membunuhmu sekarang juga.”
“Bunuhlah aku jika itu
bisa membuatmu kembali mencintai aku, bukan membunuhku untuk bisa menghidupkan
ayahmu lagi. Karena itu tidak mungkin.”
... (Nita terdiam
sesaat), kemudian berbicara:
“Membuatku mencintaimu
lagi itu justru lebih dari tidak mungkin”
Hening, semuanya
menjadi samar-samar dan buram. Hanya satu titik dimana aku mampu memfokuskan
diri. “Nita, bisakah kau menarik kembali ucapanmu itu.” Satu kalimat yang ingin
ku ucapkan, namun tertahan di mulutku yang telah terbungkam dan tercengang
ketika kalimat terakhir yang kamu ucapkan. Terlebih ketika seorang polisi muda
itu datang dan merangkul lehermu, kemudian berkata.
“Sayang ayo kita
pulang”
“Saa... sa.. sayang???”
Nafasku sesak seketika
“Lho iya kenapa? Tak
bolehkah aku memanggil pacarku dengan sebutan kata sayang? Lagipula besok lusa
kami akan...” *mulutnya berhenti bicara ketika Nita memotong pembicaraan*
“Di.. Ardi... hentikan,
ayo kita pulang saja” *Menarik-narik tangan Ardi (Polisi muda)*
Namun kemudian Ibu Nita
maju menghampiriku dari belakang tubuh Nita.
“Faisal, sudahlah.
Lupakan Nita, lusa Nita akan menikah dengan Ardi. Jangan ganggu kehidupan
mereka. Karena sampai kapanpun juga, saya tidak akan pernah merestui hubungan
kalian. Tidak sudi saya memiliki keluarga yang telah membunuh suami saya”
*kemudian pergi*
Diam, ku merasakan
kehampan yang teramat dalam. Perasaanku hancur berkeping-keping. Tubuhku serasa
lemas, lututku seakan tak mampu untuk menopang tubuhku lebih lama lagi. Ku
terjatuh dan terbaring perlahan. Sakit, tanganku menekan dadaku yang terasa
begitu sesak tak mampu untuk bernafas. Kenapa ini? Hatiku serasa di sayat-sayat
hingga paru-paruku tak mampu beroprasi dan jantungku mengalami perlambatan
denyutan. Tidak, aku tidak merasakan bahwa aku akan mati. Aku justru merasakan
bahwa aku hampir gila.
“Sal... sal.. Faisal,
yang kuat nak, ini cobaan dari tuhan. Bangunlah sal, jangan membuat ibu khawatir.
Jangan tinggalkan Ibu sendirian”
Perlahan suara dan
kata-kata itu membuatku tersadar dan kembali kuat.
“Iya bu, aku baik-baik
saja. Pulanglah duluan, aku sedang ingin menyendiri bu”
“Iya, ibu mengerti kamu
ingin menyendiri, tapi bukan disini kan tempatnya, bukankah kamu telah memiliki
tempat spesial sendiri di pinggir sungai”
Ohh iya, benar juga
dengan apa yang di katakan ibuku. Baiklah dengan beberapa kekuatan yang tersisa
aku berdiri, menarik tangan ibu, berlari, dan menghentikan taxi untuk sesegera
mungkin sampai di rumah dan mengambil sesuatu yang akan ku bawa ke pohon di
pinggir sungai itu.
***
Ku duduk di bawah pohon dengan memegang sebuah bolpoint
di tangan kanan, sementara tangan kiriku menahan lembaran kertas yang aku
baringkan di atas selembar papan yang mana papan itu ku sandarkan di atas
pahaku. Alunan musik klasik yang di putar di radio dan hembusan angin di tepi
sungai, serta cahaya jingga mentari yang akan terbenam di upuk barat. Semua itu
seakan meneduhkan hati, membuatku tenang dan membuat aku semangat menuliskan
kisah ini, kisah kita. Walaupun akhirnya kamu akan segera menikah dengan dia,
tapi aku akan tetap mencintai kamu, akan menunggu hingga kita benar-benar
bersama. Meski kita tidak bisa bersama saat ini, entah kapan. Mungkin nanti
bukan di kehidupan saat ini. Bukan, aku bukan mengalah atau menyerah. Tapi
memang saat ini keadaannya sangat tidak memungkinkan.
Setelah aku selesai menulis ini, aku akan menaruh semua
lembaran ini di dalam botol. Kemudian botol ini akan aku masukkan ke bagian
dalam batang pohon yang tadinya telah aku lubangi dengan menggunakan sebuah
pisau tepat di bagian batang pohon yang telah kita buat lambang cinta
sebelumnya. Kamu tau kenapa alasan aku menaruh lembaran kisah kita ini di dalam
pohon ini? Simple, pohon ini ibarat kita. Aku menaruh kisah kita di dalam hati
pohon ini, berharap ini sama saja seperti menanamkan kisah kita di dalam hati
kita masing-masing. Sehingga kita tidak akan pernah lupa akan kisah kita,
tentang kita, dan cinta kita.
Dan... apakah kamu tau
kenapa aku menuliskan kata “Bersambung” di tepi bawah cerita ini? Karena hatiku
merasa bahwa kisah kita ini belum berakhir, dan akan berlanjut disuatu saat
nanti.
I LOVE YOU
Kamis, 27 Mei 1997
FAISAL
#BERSAMBUNG
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
***
#Bersambung
###
Semua isi cerita pada
Lembaran Kisah Klasik itu telah selesai dibaca kembali oleh Faisal. Tapi cerita
ini masih belum selesai, termasuk tentang bagaimana kelanjutan kisahnya atau
tentang bagaimana cerita perpisahan mereka. Mengapa mereka bisa berpisah selama
sepuluh tahun, dan apa yang terjadi pada saat pernikahan Nita & Ardi. Semuanya
akan di bahas dalam Lembaran Kisah Kelasik #5.
#Postingan selanjutnya,
akan di posting paling lambat 2 minggu setelah postingan ini di publikasikan,
maaf atas terlambatnya lanjutan cerita sebelumnya.
Terima
Kasih
No comments:
Post a Comment