Tuesday, May 13, 2014

Lembaran Kisah Klasik #4

Sumber Foto : https://c1.staticflickr.com/9/8015/7255717818_6145fc4f18_z.jpg

Lanjutan dari kisah sebelumnya di Lembaran Kisah Klasik #3

###

            Ohh tidak, mengapa ini bisa terjadi. Seseorang yang telah membunuh Ayah Nita, seseorang yang sangat di benci Nita, seseorang yang sangat ingin aku pukul, ternyata itu adalah Ayahku sendiri. Bagaimana caranya aku menjelaskan hal yang tidak aku ketahui ini ke Nita. Ayah, Ibu, Nita, Ibu Nita dan kelima polisi itu melihat ke arahku. Tiba-tiba Nita berlari mendekatiku dan mencoba untuk membantuku berdiri.


“Hey sal, kamu kenapa?”

“Nit, dia... dia...”

“Apa sal, kenapa? Dia siapa?”

“Dia ayahku”

“Haah?”

Nita melepas tanganku dari genggamannya, dia menutup mulutnya dengan telapak tangannya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Expresi rasa tak percayanya itu sungguh terlihat jelas di hadapanku. Perlahan dia mundur, melangkahkan kakinya dengan lamban.

“Apa ini sal? Ada apa dengan semua ini?”

“Aku juga tidak tau Nit, aku tak pernah tau akan hal ini”

“Bohong, kamu bohong sal. Apa ini? Kamu mencoba untuk menghiburku setelah ayahku meninggal? Yang ternyata si  pembunuh ayahku itu adalah ayahmu? Maksudmu kamu mencoba untuk menebus kesalahan ayahmu? Iya begitu?”

“Enggak nit, bukan. Aku tak pernah bermaksud seperti itu. Aku pun tak pernah tau akan kejadian ini”

“Ahh bohong, Jangan pernah berada di hidupku lagi. Aku tidak ingin melihatmu lagi”

            Nita di tarik oleh Ibunya menuju mobil polisi, sementara ayahku di naikkan ke atas mobil bak terbuka yang di jaga oleh dua polisi. Aku melihat ibuku yang terduduk di lantai, menutup mulutnya yang mencoba menahan suara dari tangisannya itu. Aku mendekati Ibuku, memeluknya dan menghapus air matanya. “Sudah bu, aku yakin ayah tidak bersalah” hanya itu kalimat yang dapat aku ucapkan saat ini, fikiranku begitu kacau dan tak terkendali.
***

            Pagi ini, aku tetap pergi ke sekolah. Semuanya terasa berbeda. Jelas berbeda! Tidak ada Nita yang duduk di belakang sepedaku. Belum lagi ketika di rumah, tak ada ayahku yang biasanya selalu sarapan bersama. Ahh aku kasihan kepada ibu. Dia masih terlihat sangat bersedih. Ku mulai mengayuhkan pedal sepedaku untuk menuju ke sekolah, di pinggir jalan aku menghentikan sepedaku. Tepat aku berhenti di depan rumah Nita. Ingin rasanya aku memanggilnya, yang kemudian ia berlari sembari masih memperbaiki sepatu di kakinya yang masih belum terpasang dengan benar, hehe lucu sekali. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. Aku menghentikan senyumku, tersadar itu hanya hayalanku semata. Mataku berlinang, bergegas aku mengayuh sepedaku dengan cepat. Berharap air mata ini tidak menetes jika aku cepat pergi dari tempat itu. Namun aku merasa telah salah mengambil tindakan. Aku melihat Nita di hadapanku, tepat di depan gerbang sekolah kami. Air mata ku tak tertahankan lagi. Aku meneteskan air mata ketika melihat Nita baru saja turun dari mobil polisi, dia di antar oleh seorang polisi muda yang telah menangkap ayahku. Aku menjatuhkan sepedaku dan mulai berlari untuk mengejar Nita, yang mencoba menghindar setelah melihatku berada di hadapannya. Ku coba untuk menjelaskan beberapa hal. Namun dia memalingkan tubuhnya dari hadapanku dan berkata :
"Cukup sal, apa pun yang kamu katakan dan lakukan. Semua itu percuma. Tidak akan mengubah apapun"

"Tapi Nit, bagaimana dengan kita? Cinta kita?"

"Bagaimana bisa kita melanjutkan cinta, jika melihatmu saja. Membuatku merasakan luka"

"Tapi..." *meraih tangan Nita*

"KEMBALIKAN AYAHKU, kamu bisa membuat ayahku hidup lagi? Tidak kan? Jadi, tolong Jangan pernah muncul di hadapanku lagi" *melepas genggaman tanganku*

Dia menangis. Aku tau, keadaan ini memang benar-benar membuatnya terpukul. Tapi, aku harus berbuat apa? Tak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain memintanya untuk tetap bersamaku. Aku tau, ini memang egois.
***

Dua minggu telah berlalu setelah hari penangkapan ayahku, dan hari inilah saatnya hari persidangan ayahku. Aku hadir bersama ibu dan pengacara kami. Terlihat di sebelah kananku ada Nita dan Ibunya. Sesekali aku melihat ke arah mereka, walau tak sekalipun mereka melihat ke kiri, ke arahku. Ayahku duduk di kursi depan. Kursi tunggal itu nampaknya membuat ayahku terpukul oleh rasa malu. Dalam persidangan seorang saksi mata mulai mencertiakan kronologis kejadiannya.
“Jadi pada saat itu saya sedang duduk santai di depan toko saya, tiba-tiba saya mendengar suara orang berteriak yang dibarengi dengan suara benturan yang keras. Saya berlari mencari sumber suara itu yang berada di samping toko saya. Pada saat itu saya melihat mobil taxi dengan plat no R 735 CH  yang telah kita ketahui bersama itu adalah mobil taxi yang di kemudikan oleh bapak yang ada di kursi terdakwa ini. Saya yakin sekali karena saat itu bapak ini sempat membuka kaca mobil untuk melihat keadaan orang yang di tabraknya. Ketika itu saya sempat berteriak mencoba menghentikan bapak ini, tapi dia melajukan mobilnya.”

Pengacara kami pun mulai berbicara mengenai kronologis itu, dan terjadilah perdebatan panjang antara pengacara kami dan jaksa penuntut. Semuanya telah di jabarkan dengan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Namun percuma, kami tidak memiliki bukti atau saksi mata yang mampu memperkuat pembelaan pengacara kami. Alhasil Hakim ketua pun membacakan beberapa pasal dan memberikan hukuman penjara selama 15 tahun, atas tuduhan tabrak lari.

            Palu di ketok menandakan keputusan telah di ambil. Keputusan yang membuatku dan ibuku sangat terpukul seiring dengan ketokan palu itu. Lima belas tahun??? Kenapa? Kenapa semua ini terasa tidak adil bagiku. Ayah, apa yang terjadi sesungguhnnya?

Ku berjalan menuju pintu keluar pengadilan dengan setengah menuntun ibu ku yang masih merasa shok sehingga belum sanggup untuk berjalan sendiri. Bagaimana tidak shok, ayahku, orang yang ia cintai di penjara. Siapa yang akan mencari nafkah, siapa yang akan menjaga keluarga kami, bagaimana cara kami bertahan menghadapi semua masalah, bagaimana bisa kita hidup disini sementara ayah berada di penjara, bagaimana kita... Bruuug... seseorang menyenggol pundakku sehingga membuat lamunanku terhenti, dan ketika ku mencari siapa dia, ternyata dia adalah Nita. Fikiranku buyar seketika. Ku berlari meninggalkan ibuku untuk mengejar Nita, ku raih tangannya sehingga dia berhenti dan tubuhnya menghadap ke arahku.

“Apa maksudnya? kenapa kamu menyenggolku? Mau membuatku semakin emosi? Dua minggu lalu, kamu sudah memutuskan hubungan kita, kemudian besoknya kamu mengahancurkan perasaanku dengan berangkat sekolah bersama polisi muda itu, hari ini kamu telah membuat ayahku di penjara atas segala tuduhan-tuduhan yang kalian berikan, dan sekarang kamu menyenggolku? Apa maumu? Masih kurang puas? Hah? Mau menghancurkan hidupku? Kenapa tidak kau bunuh saja aku?”

“Kenapa? Kenapa kamu harus emosi? Kenapa kamu marah? Seharusnya aku yang marah, aku yang emosi. Hanya 15 tahun hukuman penjara. Apa-apaan itu, tidak sebanding. Iya aku mau menghancurkan HIDUPMU. Haha... tenang, aku tidak akan membunuhmu, tapi... jika membunuhmu bisa membuat ayahku hidup kembali, aku akan membunuhmu sekarang juga.”

“Bunuhlah aku jika itu bisa membuatmu kembali mencintai aku, bukan membunuhku untuk bisa menghidupkan ayahmu lagi. Karena itu tidak mungkin.”

... (Nita terdiam sesaat), kemudian berbicara:
“Membuatku mencintaimu lagi itu justru lebih dari tidak mungkin”

Hening, semuanya menjadi samar-samar dan buram. Hanya satu titik dimana aku mampu memfokuskan diri. “Nita, bisakah kau menarik kembali ucapanmu itu.” Satu kalimat yang ingin ku ucapkan, namun tertahan di mulutku yang telah terbungkam dan tercengang ketika kalimat terakhir yang kamu ucapkan. Terlebih ketika seorang polisi muda itu datang dan merangkul lehermu, kemudian berkata.

“Sayang ayo kita pulang”

“Saa... sa.. sayang???”   Nafasku sesak seketika

“Lho iya kenapa? Tak bolehkah aku memanggil pacarku dengan sebutan kata sayang? Lagipula besok lusa kami akan...” *mulutnya berhenti bicara ketika Nita memotong pembicaraan*

“Di.. Ardi... hentikan, ayo kita pulang saja” *Menarik-narik tangan Ardi (Polisi muda)*

Namun kemudian Ibu Nita maju menghampiriku dari belakang tubuh Nita.
“Faisal, sudahlah. Lupakan Nita, lusa Nita akan menikah dengan Ardi. Jangan ganggu kehidupan mereka. Karena sampai kapanpun juga, saya tidak akan pernah merestui hubungan kalian. Tidak sudi saya memiliki keluarga yang telah membunuh suami saya” *kemudian pergi*

Diam, ku merasakan kehampan yang teramat dalam. Perasaanku hancur berkeping-keping. Tubuhku serasa lemas, lututku seakan tak mampu untuk menopang tubuhku lebih lama lagi. Ku terjatuh dan terbaring perlahan. Sakit, tanganku menekan dadaku yang terasa begitu sesak tak mampu untuk bernafas. Kenapa ini? Hatiku serasa di sayat-sayat hingga paru-paruku tak mampu beroprasi dan jantungku mengalami perlambatan denyutan. Tidak, aku tidak merasakan bahwa aku akan mati. Aku justru merasakan bahwa aku hampir gila.
“Sal... sal.. Faisal, yang kuat nak, ini cobaan dari tuhan. Bangunlah sal, jangan membuat ibu khawatir. Jangan tinggalkan Ibu sendirian”

Perlahan suara dan kata-kata itu membuatku tersadar dan kembali kuat.
“Iya bu, aku baik-baik saja. Pulanglah duluan, aku sedang ingin menyendiri bu”

“Iya, ibu mengerti kamu ingin menyendiri, tapi bukan disini kan tempatnya, bukankah kamu telah memiliki tempat spesial sendiri di pinggir sungai”

Ohh iya, benar juga dengan apa yang di katakan ibuku. Baiklah dengan beberapa kekuatan yang tersisa aku berdiri, menarik tangan ibu, berlari, dan menghentikan taxi untuk sesegera mungkin sampai di rumah dan mengambil sesuatu yang akan ku bawa ke pohon di pinggir sungai itu.

***

            Ku duduk di bawah pohon dengan memegang sebuah bolpoint di tangan kanan, sementara tangan kiriku menahan lembaran kertas yang aku baringkan di atas selembar papan yang mana papan itu ku sandarkan di atas pahaku. Alunan musik klasik yang di putar di radio dan hembusan angin di tepi sungai, serta cahaya jingga mentari yang akan terbenam di upuk barat. Semua itu seakan meneduhkan hati, membuatku tenang dan membuat aku semangat menuliskan kisah ini, kisah kita. Walaupun akhirnya kamu akan segera menikah dengan dia, tapi aku akan tetap mencintai kamu, akan menunggu hingga kita benar-benar bersama. Meski kita tidak bisa bersama saat ini, entah kapan. Mungkin nanti bukan di kehidupan saat ini. Bukan, aku bukan mengalah atau menyerah. Tapi memang saat ini keadaannya sangat tidak memungkinkan.

            Setelah aku selesai menulis ini, aku akan menaruh semua lembaran ini di dalam botol. Kemudian botol ini akan aku masukkan ke bagian dalam batang pohon yang tadinya telah aku lubangi dengan menggunakan sebuah pisau tepat di bagian batang pohon yang telah kita buat lambang cinta sebelumnya. Kamu tau kenapa alasan aku menaruh lembaran kisah kita ini di dalam pohon ini? Simple, pohon ini ibarat kita. Aku menaruh kisah kita di dalam hati pohon ini, berharap ini sama saja seperti menanamkan kisah kita di dalam hati kita masing-masing. Sehingga kita tidak akan pernah lupa akan kisah kita, tentang kita, dan cinta kita.

Dan... apakah kamu tau kenapa aku menuliskan kata “Bersambung” di tepi bawah cerita ini? Karena hatiku merasa bahwa kisah kita ini belum berakhir, dan akan berlanjut disuatu saat nanti.




I LOVE YOU


                                                                                                             Kamis, 27 Mei 1997
                                                                                                          

                                                                                                                        FAISAL


            #BERSAMBUNG

------------------------------------------------------------------------------------------------------------


***

#Bersambung

###

Semua isi cerita pada Lembaran Kisah Klasik itu telah selesai dibaca kembali oleh Faisal. Tapi cerita ini masih belum selesai, termasuk tentang bagaimana kelanjutan kisahnya atau tentang bagaimana cerita perpisahan mereka. Mengapa mereka bisa berpisah selama sepuluh tahun, dan apa yang terjadi pada saat pernikahan Nita & Ardi. Semuanya akan di bahas dalam Lembaran Kisah Kelasik #5.

#Postingan selanjutnya, akan di posting paling lambat 2 minggu setelah postingan ini di publikasikan, maaf atas terlambatnya lanjutan cerita sebelumnya.

Terima Kasih


No comments:

Post a Comment