Dear : Reader
Surat ini bukan aku kirimkan untuk dia
lagi.
Ya, kali ini aku tidak akan menceritakan
tentang dia.
Tapi, kali ini aku ingin bercerita tentang
kami (aku dan dia) Hehe.
Ada satu tempat di kota ini yang selalu
menjadi tempat favorit kami. Tempat dimana kami bisa melihat bintang yang
berbeda namun sama indah. Bintang itu ada di langit dan di daratan.
Bingung?
Begini saja, aku tidak akan jelaskan apa
maksudnya, tapi semoga lokasi ini dapat menjelaskan semuanaya. Nama tempat itu
adalah Cafe Puncak.
Entah seberapa sering kami kemari, namun
tempat ini selalu sukses memberikan suasana yang membuat kami bahagia.
Malam ini seperti malam yang biasanya,
tapi selalu aku anggap special bila kami bersama.
Aku mengendorkan gelang yang ada di
lenganku. Kemudian melepasnya dan memasukkannya ke lengan kanan dia. Dia pun
berkata:
"Untuk apa dipasang di
lenganku?"
"Tentu saja untukmu"
"Tapi kan ini gelangmu, kamu bilang
kamu susah payah membuatnya sendiri."
"Iya ini memang gelangku dan memang
aku sendiri lah yang membuatnya. Tapi ini ku berikan untukmu"
"Ahh tidak, ini untukmu saja, kamu
bilang kamu sangat menyukai gelang ini, lagi pula gelang ini tampak besar di
lenganku"
"Haha besar ya? bukan itu bukan
gelangnya yang besar, tapi lenganmu saja yang mengecil."
"Iya iya lenganku yang mengecil,
makanya ini aku kembalikan kepadamu."
Dia mengembalikan gelangku dan
memasangkannya di lenganku.
"Kenapa? Kebanyakan ya itu bolanya?
Menurutku sih tidak, itu sangat pas. Coba kamu hitung"
Aku mengembalikan gelang itu dan
memasangkannya di lengannya lagi.
Dia diam tak berbicara, namun jemarinya
tampak sedang menghitung bola-bola yang ada di gelang itu.
"30?. Lalu kenapa?"
Aku membisikkanya pelan
"Setengahnya"
"Maksudmu 15?"
Aku tertawa geli.
"Haha, kok 15. Coba kamu ingat-ingat
dulu, ada apa dengan 30."
Dia diam tampak sedang memikirkannya.
"Apa naa, coba kasih tau"
Aku diam mengabaikannya.
"Coba ingat-ingat dulu ada apa"
"Setengahnya-setengahnya" Dia
tampak sedang berfikir, haha dai tampak manja sedikit.
Tapi aku mengabaikannya begitu saja. Aku
memakan spaghetti ku dan menyeruput cappuchino hangatku. Sementara dia
mencabik-cabik roti bakarnya seolah sedang berfikir keras.
Aku kasihan melihatnya.
"Sayang, sayang gini. Biar aku kasih
clue. 30 Itu setengahnya"
"Setengahnya, berarti 60 dong?"
"Iya 60, hayo ada apa dengan
60?"
Dia berfikir lagi. Aku bilang "Kamu
lupa? ahh kamu ini dasar memang, benar-benar pelupa yang parah, 60 itu kan
awalnya juga waktu kita disini"
"Iyaa naaa, jam yang baru aja ku
lepas bisa ku lupakan, apalagi sudah lama"
"Kamu ini memang lhooo, awas aja kalau
kamu lupa kalau punya aku"
"Haha nda lah, kalau aku lupa kan ada
kamu yang bisa selalu ingatin. Kamu kan penulis, jadi selalu ingat."
Aku menatapnya heran
"Apa hubungannya coba??? Lagian aku
bukan penulis."
Kami terus berbicara sangat lama dengan
berbagai perbincangan yang melenceng kemana-mana. Sampai pada akhirnya dia tau
bahwa itu adalah angka yang kami berdua suka.
6 dan 0
Dia 6.
Aku 0.
Dia bilang, dia suka 6 karena setelah
garis, dia membuat lingkaran jadi terlindungi.
Aku bilang, aku suka 0 karena aku berharap
bahwa aku adalah angka 0 di hidupnya. Jadi jika dia menyukai angka berapa saja,
jika dia memiliki apa saja, pernah memiliki berapapun apa pun dan kapanpun itu.
Aku ingin hadir di garis belakang menjadi angka 0. Karena angka berapapun yang
kamu punya jika kamu kali kan dengan angka 0, maka yang kamu temukan itu adalah
aku. Yaitu 0. 0 lah yang membuatmu akan selalu menemukanku.
"Jadi sayang, jika gelang itu adalah
30, itu artinya?"
"Artinya ada setengahnya lagi."
"Iya itu artinya apa?"
"Ada yang satunya lagi, mana?"
Aku mengambil dari saku celanaku.
"Ini"
Dia mengambilnya dan mengenakannya di
lenganku, kemudian setelah itu dia mencium pipiku.
Sudah ya, sampai disitu aja suratnya, maaf
berantakan. Keburu lewat deadline ini. Haha
From : Kami
Jum'at 20
Februari 2015
#Day22
#30HariMenulisSuratCinta
No comments:
Post a Comment